Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘mantan’ memiliki arti bekas
pemangku jabatan (kedudukan). Tenaga Kerja Indonesia atau yang biasa
dikenal dengan sebutan TKI merupakan warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam kurun waktu tertentu. Dengan kata lain, mantan TKI adalah mereka yang pernah namun tidak lagi bekerja sebagai TKI.
Dengan sejuta alasan mereka pergi meninggalkan tanah air, dengan
sejumlah alasan pula mereka memutuskan untuk berhenti menjadi ‘Sang
Pahlawan Devisa Negara’.
Alasan ekonomi seringkali disebut-sebut sebagai pemicu rakyat Indonesia untuk nekat pergi mengadu nasib sebagai TKI. Gaji besar, penghidupan yang layak, kemakmuran, kira-kira itulah gambaran impian sebagian besar para Buruh Migran Indonesia. Namun, di sisi lain fakta berbicara bahwa ada faktor lain yang juga mempengaruhi keputusan para TKI.
Terkadang di dalam masyarakat, sesuatu yang berhubungan dengan luar negeri memberikan kesan ‘WAH’ tersendiri. Pernahkah kamu merasa demikian? Tanpa kita sadari, kita sudah terjebak dalam ‘westernisasi’, suatu proses di mana kita lebih menyukai hal-hal yang berbau luar negeri dibanding dalam negeri. Seolah-olah, sesuatu yang dimiliki dan dihasilkan oleh negara luar lebih baik daripada apa yang ada di dalam negeri. Hal inilah yang turut menjadi latar belakang keberangkatan para TKI.
Tak sedikit dari mereka yang pulang dengan kesuksesan, seperti dibayar dengan dollar, diberikan tempat tinggal, serta penghidupan yang lebih baik. Dan ingat, suatu kebanggaan tersendiri bisa bercerita dengan warga sekampungnya bahwa mereka berhasil ‘bekerja di luar negeri’. Namun di sisi lain, adapula yang menerima perlakuan yang bertentangan dengan apa yang mereka harapkan.
Sekitar tahun 2010 lalu, beberapa kasus TKI terkuak dan ramai diperbincangkan. Sebagian dari mereka diperlakukan kasar dan semena-mena. Sebuah data mewacanakan “Tak Sampai Setahun , 5.635 TKI disiksa” [1]. Salah seorang TKI asal Cirebon berinisial NK, mengaku pernah disiksa dan disekap oleh majikannya. Berdasarkan data tahun 2011, kota Cirebon merupakan daerah penyumbang TKI terbesar di Jawa Barat. Melalui pesan singkat, NK meminta tolong kepada Indonesia. Ia meminta kepada suaminya yang tinggal di Indonesia agar ia segera dipulangkan. Dalam pesan singkat tersebut, NK mengaku tidak kuat lagi menerima siksaan yang dilakukan oleh majikannya.
“Istri saya mengaku pernah dicekik, dijambak, dipukul, hingga dibenturkan ke tembok”, tegas NN, suami NK. Kisah lain yang tak jauh berbeda datang dari seorang TKI yang bekerja di Arab Saudi. “Saya sering disiksa majikan di dapur. Setiap kali saya terlambat kerja pasti saya disiksa dengan dicambuk. Tak hanya sampai di situ, punggung dan dahi saya juga seringkali disetrika.” Dalam kondisi demikian, sering terlintas di pikirannya untuk kembali ke Indonesia. Namun apadaya, faktor ekonomi telah menuntunnya pergi merantau sebagai TKI. Selain itu, ia juga sudah menandatangani kontrak kerja selama 2 tahun. Usai menghabiskan kontrak tersebut, ia baru diperbolehkan pulang [2].
Sebagai sesama warga negara Indonesia, rasa prihatin turut menyayat hati saya tatkala mendengar para Tenaga Kerja Indonesia diperlakukan tidak layak di negeri seberang. Jika alasan mereka adalah faktor ekonomi, rasanya berwirausaha di kampung halaman dapat dijadikan solusi sederhana yang memiliki prospek baik di masa depan. Pada dasarnya, kegiatan wirausaha dapat dilakukan oleh siapa saja. Kunci utama keberhasilan dalam berwirausaha hanyalah ketekunan dan kepekaan. Ya!! Kepekaan diperlukan demi terwujudnya kekreatifan berwirausaha yang tepat sasaran. Di samping peka terhadap potensi yang ada, dalam berwirausaha kita juga dituntut untuk memiliki rasa peka terhadap kebutuhan masyarakat. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat sisi lain dari kota Cirebon secara kreatif!
Di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa kota Cirebon adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki potensi tinggi. Secara geografis, kota ini terletak di pinggir laut yang banyak menghasilkan udang atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan ‘rebon’. Karena itulah, kota ini dikenal dengan sebutan Kota Udang. Dengan kepekaan berwirausaha, fakta kekhasan kota Cirebon dengan udang dapat kita manfaatkan sebagai salah satu peluang kegiatan wirausaha. Setelah kita dapat melihat keadaan sebagai potensi dengan menggunakan aspek kepekaan, maka kini kita dituntut untuk kreatif dalam mengolahnya. Udang tersebut dapat dijual dalam bentuk kerupuk, terasi, atau dibuat abon. Makanan-makanan ini merupakan makanan sederhana yang disukai oleh masyarakat pada umumnya. Selain sebagai pemenuh kebutuhan para penikmatnya, panganan tersebut juga dapat dijadikan buah tangan bagi para pengunjung yang sekaligus dapat memperkenalkan kota Cirebon kepada masyarakat luas. Tentunya di dalam pengolahan udang tersebut diperlukan tenaga-tenaga kerja, khususnya kaum wanita. Dengan kata lain, pengolahan udang ini membuka lapangan kerja bagi masyarakat.
Dari
segi perkebunan, Cirebon merupakan kota penghasil rotan terbesar di
Jawa Barat. Melihat fakta ini, sebagai penekun wirausaha yang cerdas,
kita harus berpikir kreatif agar rotan tersebut dapat dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya. Rotan yang dijual mentah tentu hasilnya kurang
menguntungkan. Menjadikannya sebagai kerajinan khas Cirebon merupakan
solusi tepat yang sekaligus membuka peluang kerja. Kerajinan rotan bisa
disajikan dalam bentuk kursi, vas, keranjang, ataupun dijadikan hiasan
bunga rotan.
Selain dibuat sebagai perabot dan hiasan, rotan juga dapat digunakan sebagai alat untuk memperkenalkan budaya Indonesia, khususnya Jawa Barat. Dengan kreativitas tinggi, rotan dapat disulap menjadi salah satu bahan pembuatan wayang. Masyarakat saat ini, suka sekali dengan sesuatu yang unik. Wayang yang biasanya berbahan dasar kulit kerbau, kini bisa anda modifikasi dengan rotan. Ingat, sebagai seorang wirausaha yang cerdas, kita harus mampu melihat setiap keadaan sebagai peluang untuk maju dan berkembang.
Siapa
bilang perempuan-perempuan hanya bisa jadi ibu rumah tangga. Inilah
beberapa contoh sederhana yang mampu dilakukan oleh kaum hawa, yang
sebagian besar menjadi TKI.
Kaum pria tetap menjadi tumpuan nafkah keluarga yang utama, sedangkan
kaum wanita sebagai istri melengkapinya, dengan melakukan
kegiatan-kegiatan sederhana. Pada umumnya, para ibu suka sekali yang
namanya berkumpul dan bersosialisasi, saling berbagi cerita dengan
sesama ibu yang lain. Tentu akan sangat baik jika perkumpulan itu
dilakukan dengan terarah dan terorganisasi. Perkumpulan itu dapat
direalisasikan dengan membentuk kelompok PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan
Keluarga). Alangkah lebih baik jika pemanfaatan sumber alam yang telah
dibahas di atas diatur dalam perkumpulan ini. Dengan demikian, ada
pembagian tugas yang jelas.
Memulai sesuatu memang ‘gampang-gampang susah’. Namun, setidaknya kesulitan yang muncul pada permulaan lebih baik daripada tidak mencoba sama sekali, alias kalah sebelum berperang. Hasil-hasil lokal tersebut dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak hanya dijual, hasil lokal tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai produk-produk lokal yang memiliki nilai jual serta dapat digunakan untuk memperkenalkan bangsa Indonesia kepada dunia, melalui kota Cirebon. Tidak perlu merasa kehilangan pemasukan devisa negara dengan keputusan berhenti menjadi TKI. Dengan menjual produk-produk buatan dalam negeri ke negara lain, kita juga turut menyumbang pemasukan devisa negara.
Memang penghasilan usaha ini tidak sebanding jika dibandingkan dengan bekerja di luar negeri. Tapi apalah artinya uang melimpah jika harus mengorbankan kesejahteraan dan ketentraman hati, pikiran, dan jasmani. Dengan berwirausaha di kampung halaman, kita tidak perlu meninggalkan keluarga dan sanak saudara. Seperti yang kita ketahui, mayoritas para TKI terdiri dari perempuan-perempuan Indonesia. Tidak sedikit dari mereka yang terpaksa meninggalkan anak-anak mereka. Kebahagiaan seorang ibu adalah pada saat mereka dapat selalu memantau perkembangan anaknya. Demikian pula seorang anak juga memerlukan figur seorang ibu di dalam pertumbuhannya. Saya yakin jika ditekuni dengan baik, usaha ini berpotensi menjadi usaha yang besar. Selain itu, secara tidak langsung berwirausaha di kampung halaman juga dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi penduduk sekitar.
Mari kita ubah pemikiran kita! Jangan hanya bertumpu pada pemerintah. Indonesia bukanlah sebuah negara ataupun wilayah, melainkan Indonesia yang sesungguhnya adalah orangnya. Sebagai agen perubahan, peran kita semua sangatlah diperlukan. Jika pada saat ini kita belum dapat merasakan perubahan yang signifikan dari tindakan-tindakan yang diambil pemerintah, janganlah langsung kecewa atau berputus asa. Marilah kita saling bercermin dan jadilah kreatif dalam menghadapi segala permasalahan yang ada!
Setiap daerah memiliki potensinya masing-masing. Terkadang memiliki kesamaan, namun bisa pula menunjukkan perbedaan. Cirebon hanyalah sebagian kecil kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, di bagian mana pun kita berada saat ini, marilah kita memanfaatkan sebaik-baiknya apapun bentuk kekayaaan yang ada di daerah kita. Jadikanlah suatu keadaan sebagai potensi-potensi yang memberikan peluang untuk usaha. Mari kreatif bersikap, mari kreatif berwirausaha!
Sekian
Nita Felicia / @nita_felicia
Ditulis untuk Kontes Blog Solidaritas Blogger untuk TKI (18 Mei-18 Juli 2012)
REFERENSI
[1] Data Pusat Sumber Daya Buruh Migran Indonesia: http://buruhmigran.or.id/2010/12/01/tak-sampai-setahun-5-635-tki-disiksa/
[2] Data Pusat Sumber Daya Buruh Migran Indonesia: http://buruhmigran.or.id/2011/01/31/seorang-tki-asal-majalengka-jadi-korban-penyiksaan/
No comments :
Post a Comment